Dari lereng bukit saya menatap keindahan laut biru yang membentang indah. Pemandangan tersebut terlihat saat menuju salah satu desa adat di timur Indonesia; Takpala. Desa Takpala seakan terselip di antara laut dan gunung, karena untuk menuju Desa Takpala membutuhkan perjalanan 30 menit dari pesisir menuju ke atas bukit. Lokasi yang terselip di antara bukti dan lereng, membuatnya menarik dengan sajian pemandangan menakjubkan.
Saya sampai pada pukul satu siang, hari saat itu cerah saat saya menyetandarkan motor. Saya tidak menyangka, jika pemandangan dari parkiran sangatlah indah. Bentangan laut dengan dikelilingi oleh bukit-bukit, membuat nafas saya tertahan sejenak.
“Silakan duduk dahulu, mungkin capek habis mendaki,” ucap bapak Sepri selaku ketua sanggar Desa Takpala sambil menerima sirih pinang yang saya bawa.
Disebelahnya terlihat sosok lebih tua duduk sambil mengukir gagang kepala parang. Sebuah belati yang biasa dibawa oleh masyarakat desa untuk berkebun. Bapak Sepri-pun mengarahkan saya untuk mewawancarai beliau yang merupakan orang tua yang tersisa.
“Abner Yetimauh” ucapnya memperkenalkan diri.
Saat sedang menghela nafas lelah, saya pun membuka percakapan. Percakapan kami dimulai dari sejarah desa Takpala yang berada di Desa Lemburu Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor.
Bapak Abner mengatakan, “Masyarakat Desa Takpala sudah menempati area tersebut sejak 1940-an. Awalnya, masyarakat desa berasal dari daerah yang lebih jauh lagi, namun karena situasi, Kepala Desa saat itu memutuskan untuk berpindah ke lokasi saat ini”. Kemudian karena kebutuhan adat, pada tahun 1984 dibuat mesbah (susunan batu) yang digunakan untuk tarian adat lego-lego.
Saat ini, jumlah masyarakat Desa Takpala tersisa sekitar 40 orang yang terbagi dalam delapan keluarga dan tinggal di 14 rumah adat yang disebut Fala Foka. Menurut struktur adat, masyarakat Desa Takpala dibedakan menjadi tiga suku yaitu Kapitang, Aweni, dan Marang.
Suku Kapitang berperan sebagai pasukan perang dan asal muasal panglima perang. Sedangkan suku Aweni sebagai kepala desa yang dikategorikan juga sebagai suku raja. Kemudian suku Marang disebut juga sebagai suku delegasi, yang sekaligus suku bapak Abner.
Ketiga suku tersebut berbicara dalam bahasa Abui. Abner juga menegaskan bahwa, Abui bukanlah suku yang kerap dilabeli beberapa orang.
“Abui bukan suku tapi wilayah. Alor punya dua wilayah yaitu Abui dan Habang,” ujar Bapak Abner. Secara sederhana Abui adalah orang yang tinggal di wilayah pegunungan dan Habang adalah orang yang tinggal di pesisir.
Terdapat perbedaan mendasar diantara dua wilayah tersebut dalam tradisi. Misalnya, pada penerapan tarian lego-lego, orang Abui saling melingkar dan merangkul pundak atau pinggang. Sedangkan tarian lego-lego masyarakat Habang melingkar dan saling berpegangan tangan.
Lego-lego adalah salah satu pertunjukan tarian desa Takpala sekaligus memohon kepada leluhur untuk keberkahan dan tolak bala. Tarian ini dilakukan dengan mengitari batu-batu bersusun (mesbah) dengan mengucapkan doa dan nyanyian dalam bahasa Abui. Musik pun hanya berasal dari lantunan doa dan gesekan gelang di kaki wanita yang mengiringi tarian ini.
Dalam tarian ini, masyarakat Takpala juga berdoa untuk kelestarian hutan dan alam sekitarnya. Sesuai dengan namanya, Tak yang artinya batasan dan Pala yang artinya kayu. Dua suku kata yang bisa diartikan sebagai kebiasaan atau sifat yang melindungi hutan Alor.
Selain untuk memohon pada leluhur, tarian lego-lego juga dilakukan saat pembersihan dua rumah adat yang dikhususkan sebagai tempat penyimpanan benda sejarah dan pusaka masyarakat Desa Takpala. Masyarakat biasa menyimpannya di dalam Lopo. Rumah khusus yang dibuat tertutup oleh anyaman bambu dan berdampingan pada bagian timur dan barat.
“Pada bagian timur berwarna putih, bagian barat berwarna hitam. Rumah warna hitam boleh semua orang masuk, tetapi kalau rumah warna putih tidak boleh sembarang orang masuk,” ucap Bapak Abner menjelaskan rumah Lopo sembari menunjuk ke arah rumah yang dimaksud.
Pembukaan rumah Lopo pun tidak main-main, hanya boleh dilakukan satu kali dalam setahun oleh suku Marang. Selain suku Marang, seseorang yang akan membuka Lopo haruslah orang tertua atau sulung yang boleh membukanya.
Selain lego-lego, masyarakat Takpala juga memiliki tarian adat bernama Cakalele. Tarian Cakalele merupakan tarian perang yang saat ini juga biasa digunakan untuk penyambutan tamu.
Cakalele dilakukan oleh pria dewasa dengan menggunakan nowang (kain adat), maisalah (selendang ikat kepala), basah (sabuk yang terbuat dari rotan dan lontar), kamol (tas sirih pinang) dan senjata adat. Terdapat dua senjata adat di desa Takpala yaitu busur panah dan parang yang disebut sora.
Gerakan tarian dilakukan dengan seolah-olah hendak bertarung. Tangan kanan memegang sora, tangan kiri memegang busur, dan tidak lupa berbagai jenis anak panah yang diselipkan di sabuk basah.
Sora dan busur panah masih kerap digunakan oleh masyarakat untuk berburu berbagai hewan seperti babi dan rusa. Karena, bagi masayarakat Takpala, babi dan rusa adalah hewan yang keluar masuk lubang dewa dan jumlahnya tidak akan pernah habis.
“Menurut sejarah orang tua, babi dan rusa akan keluar dari lubang dewa dan merusak tanaman kita, setelah musim selesai mereka akan kembali masuk ke lubang dewa,” ucap Bapak Abner dengan wajah sumringah seakan menikmati keberkahan babi dan rusa yang tak akan pernah habis.
Saat itu desa terasa sepi. Saya hanya bertemu Bapak Sepri, Bapak Abner dan beberapa mama-mama yang sedang membuat pernak-pernik yang biasa disiapkan untuk wisatawan yang berkunjung. Bapak Sepri berkata sebagian masyarakat desa sedang mengikuti pawai 17-an di kota Kalabahi.
Saat hendak melanjutkan perbincangan, Bapak Sepri tiba-tiba menyela sambil menyodorkan kopi panas ke saya dan Bapak Abner.
“Ayo minum dulu, selagi panas,” ucap bapak Sepri.
Rasanya sungguh nikmat, batin saya. Rasa kopi pahit yang khasdengan sedikit manis sungguh menyegarkan setelah perjalanan, suasana desa yang sepi, ditambah suara gesekan daun di atas seakan menghangatkan pertemuan saya dengan Bapak Abner.
Namun, suasana hangat itu sedikit berubah saat saya menanyakan terkait perubahan Desa Takpala saat ini. Abner menolak jika desa Takpala dikatakan sudah berubah, namun beliau lebih setuju menyebutnya sebagai penyesuaian. Suaranya pun meninggi saat menjelaskan hal tersebut.
Abner menjelaskan masyarakat adat Takpala masih melakukan ritual dan sembahyang kepada leluhur yang menjadi upaya melestarikan adat Takpala. Kegiatan ritual terakhir baru saja dilakukan pada bulan Juli lalu. Ritual tersebut disebut Tifol Tol yang biasa dilakukan untuk permohonan berkat kepada leluhur sebelum membuka lahan untuk berkebun.
Beberapa hal yang disesuaikan salah satunya adalah sumber air dan listrik. Sambil menunjuk ke atas bukit, Abner menjelaskan bahwa sumber mata air yang tadinya dimanfaatkan oleh masyarakat Takpala telah rusak oleh badai seroja yang terjadi pada tahun 2021.
“Air pesan dari Kalabahi, karena sumber air rusak habis saat seroja,” ucap Bapak Abner menerawang.
Selain itu, listrik juga digunakan untuk memenuhi penerangan dan isi daya handphone. Selama berada di desa Takpala, Bapak Abner sendiri terlihat tidak memiliki handphone, meski sinyal sudah masuk ke desa. Namun, Bapak Sepri selaku ketua sanggar beberapa kali terlihat memegang handphone satelit yang cukup besar. Menurut penuturannya, ini salah satu hal yang disesuaikan karena ia harus siap menerima panggilan jika Desa Takpala mendapatkan undangan sebuah acara.
“Jika besok senggang mari ikut bersama kami menjemput romo di bandara Mali. Setelah itu kami akan ibadah di gua Maria yang ada di Tombang,” ujar Bapak Sepri.
Sebagian besar masyarakat Takpala memang sudah menganut agama Katolik. Terlihat pula kalung salib menjuntai di leher Bapak Sepri.
Abner mengatakan situasi saat ini sudah terlalu canggih. Setiap orang mampu berkomunikasi dengan cepat dan mudah meski berada di seberang lautan.
Abner menceritakan pula kerinduannya saat zaman dahulu adalah berjalan kaki menuju tempat seseorang untuk bertamu atau berkomunikasi. Menurutnya, cara seperti itu membuat persatuan masyarakat Alor tetap kokoh.
“Adat tidak berubah, karena adat istiadat adalah dasar hidup,” ucap Abner menutup pertanyaan saya.
Ampas kopi yang mengendap sudah terlihat. Tak terasa sudah dua jam saya di Desa Takpala. Saya bersiap merapikan barang-barang serta mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sepri dan Bapak Abner yang telah meluangkan waktunya.
Seketika Bapak Abner berhenti mengukir sarung parangnya. Beliau menemani saya pulang sampai gerbang desa. Kembali beliau menunjukan mesbah yang kami lewati. Terlihat tiga batu tertanam di atas yang melambangkan tiga suku yang ada di desa Takpala.
“Kalo libur main lagi saja ke sini” ucap Bapak Abner selagi saya bersalaman untuk pamit.
Dapatkan pengalaman tak terlupakan di Desa Takpala melalui aktivitas Conservation Experience bersama Thresher Shark Indonesia dan Acaloca pada Oktober 2024, daftar di sini!