Matahari belum sepenuhnya muncul pagi itu. Sambil menatap sekumpulan sapi mengunyah rumput, saya menunggu air laut surut dengan teh tawar hangat. Beristirahat, menyiapkan energi untuk menanam mangrove di pesisir Pailelang. Pada penanaman hari ini, tim telah menyiapkan seribu anakan mangrove yang akan ditanam bersama para tamu undangan.
Penanaman ini melibatkan beberapa elemen kelompok; polisi, militer, pemuda gereja, masyarakat sekitar, dan empat sekolah dari tingkat dasar sampai menengah. Meski melewati waktu yang tertera dalam surat undangan, para peserta akhirnya berkumpul untuk menanam mangrove. Tepat jam sembilan pagi kami mulai berjalan kaki menuju lokasi penanaman yang hanya berjarak lima menit.
Penanaman dibagi menjadi empat pos untuk memudahkan mobilisasi dan pendataan. Setiap pos bertanggung jawab untuk menanam setidaknya 250 bibit mangrove.
Hanya dua jenis mangrove tersedia untuk ditanam, rhizophora dan ceriops. Dua jenis ini dipilih karena hanya mereka yang mampu bertahan dan cocok dengan substrat (campuran tanah dan pasir) pesisir Pailelang.
“Ini ada contoh jenis bruguiera yang pernah disemaikan namun mati, dia mati karena tidak cocok dengan substrat yang ada di Pailelang” ujar Mangrove Restoration Officer Thresher Shark Indonesia, Lekison Padafani.
Semakin matahari meninggi, satu persatu bibit mangrove mulai tertanam menjaga pesisir Pailelang. Tiga jam berlalu, saat matahari tepat diatas kepala dan keringat sudah membasahi pakaian, kami memutuskan untuk menyelesaikan penanaman meski masih tersisa 200 mangrove lagi.
Proses Restorasi Mangrove
Penanaman mangrove ini adalah bagian dari program Restorasi Ekosistem Mangrove yang didasari pada kesadaran terhadap wilayah pesisir Alor yang minim perlindungan dari abrasi dan bencana alam lainnya. Program ini bertujuan untuk merestorasi tiga wilayah yang tersebar di tiga desa dengan masing-masing sudah tertanam 2.000 mangrove.
Karena hari semakin terik, sebanyak 200 mangrove yang tersisa akan ditanam pada esok lusa untuk menutup target program kami. Target penanaman 6.000 mangrove sudah dicanangkan sejak November 2023. Sejak saat itu kami sudah melakukan restorasi mangrove di pesisir Fanating, Welai Barat, dan Pailelang. Dan penanaman di minggu ini adalah penanaman terakhir kami.
Program ini berawal dari keterlibatan lima anak muda lokal yang tergabung dalam “Conservation Champion” untuk merestorasi. Proses restorasi dimulai dengan proses penyemaian buah mangrove sampai menjadi anakan yang dapat ditanam.
Bagi para pemuda ini, restorasi mangrove merupakan suatu bentuk kesadaran bahwa untuk melindungi satu spesies saja, kita harus melindungi sebuah ekosistem secara utuh. Hidup di wilayah pesisir, mangrove menjadi rumah bagi flora fauna dan penjaga masyarakat dari ancaman abrasi. Pengalaman badai seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur juga menjadi sebuah alarm bahwa ketahanan utama wilayah pesisir menjadi krusial. Maka tidak salah apabila menyebut mangrove sebagai “Sang Pelindung Pesisir”.
Usaha restorasi tidak hanya mengambil bibit dari tempat lain dan menanamnya begitu saja. Bukan pula “menanam saja” dan membiarkan alam bekerja. Namun, lebih daripada itu, restorasi adalah sebuah tindakan berkelanjutan yang dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan.
Buah-buah mangrove (propagule) yang telah dikumpulkan kemudian disemaikan dengan menggunakan substrat yang sesuai dengan lokasi penanaman. Tujuannya jelas, agar buah mangrove dapat beradaptasi dengan substrat yang sesuai dengan lokasi yang akan ditanami.
Proses penyemaian ini dapat memakan waktu kurang lebih selama 2-3 bulan sebelum bibit mangrove siap untuk ditanam. Dalam prosesnya, harus diakui bahwa banyak faktor yang dapat menyebabkan kegagalan dalam proses penyemaian ini. Sebut saja adanya parasit, kondisi buah mangrove yang cepat membusuk, penyesuain dengan substrat, hewan-hewan yang mengganggu lokasi penyemaian, dan tidak lupa human error.
Setelah melewati waktu penyemaian maka bibit mangrove sudah dapat ditanam sesuai pada tempat substrat berasal. Penanaman bukan langkah akhir dari restorasi ini. Setelah penanaman, dilanjutkan dengan pengawasan dan memastikan anakan yang telah ditanam dapat bertahan menghadapi berbagai ancaman. Apabila ada yang tidak dapat bertahan, maka kami serta masyarakat setempat akan segera mengganti bibit tersebut.
Edukasi Sang Pelindung Pesisir
Selain restorasi ekosistem mangrove, kami menyadari perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mangrove dalam menjaga lingkungan mereka. Maka dari itu, sejak November 2023 kami juga melakukan pendekatan edukasi mangrove di sekolah, balai desa, hingga kelompok pemuda gereja.
Edukasi ini menargetkan 20 sekolah dan 750 masyarakat dari berbagai umur. Namun, jalan beraspal tidak pernah ada dalam cerita edukasi ini. Berbagai halangan mulai dari penolakan, minimnya antusiasme, sampai membuat pendekatan edukasi yang berbeda-beda mewarnai proses edukasi mangrove ini.
Meski dihadapi berbagai halangan, sampai September 2024, edukasi ini telah berhasil melibatkan 1.376 masyarakat, mulai dari usia sekolah sampai dengan orang dewasa. Angka yang sebelumnya terlihat mustahil, namun ternyata bisa dicapai dalam waktu beberapa bulan terakhir ini. Semoga edukasi ini dapat menjadi sebuah pengingat dan pembelajaran bagi masyarakat guna mengedepankan perlindungan bagi benteng utama wilayah pesisir.
Baca juga: Menapaki Jejak Tradisi di Desa Adat Takpala Alor
Program edukasi dan restorasi mangrove adalah salah satu program dari Thresher Shark Indonesia yang didukung oleh Coral Reef Care. Fokus program ini adalah menjaga, restorasi, dan edukasi ekosistem mangrove. Tanpa kesadaran berbagai pihak, usaha restorasi tentunya akan menghadapi berbagai tantangan. Dengan membangun “Sang Pelindung Pesisir” kita tentu membangun sebuah kerjasama, kesadaran, dan harapan.
Penulis: Maria Bernadeth Tukan/Umar Tusin/Vivekananda Gitandjali