Hiu merupakan salah satu spesies yang paling terancam jumlahnya di muka bumi. Mereka rentan terhadap kepunahan karena akibat dari eksploitasi perikanan dan lambannya reproduksi mereka.
Kenyataannya, telah banyak regulasi yang diberlakukan baik secara Internasional maupun lokal untuk meningkatkan pengelolaan tangkapan hiu dan untuk melindungi spesies ini. Akan tetapi, penerapan regulasi tersebut sangat sulit. Hal ini lantaran, di laut lepas banyak kapal yang beroperasi di luar dari zona hukum sehingga tidak ada orang yang dapat mengawasi tindakan tersebut.
Masing-masing negara yang memiliki garis pantai bertanggung-jawab untuk mengatur kebijakan pada daerah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka. Beberapa negara menertibkan perairan mereka secara efektif, sementara negara lainnya mengalami kesulitan dalam hal ini.
Negara Indonesia, sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri atas 16,000 pulau, penerapan perencanaan perikanan secara efektif dalam ZEE merupakan suatu tantangan yang sulit sekali untuk dilakukan. Apa yang terjadi di lautan, cenderung tertutupi. Kurangnya data yang memadai dan terpercaya, isu-isu dalam pelaksanaan, kurangnya sumber data, kesalahan komunikasi antara pihak terkait, dan birokrasi yang kurang efektif. Semua permasalahan tersebut kemudian berimbas pada tidak efektifnya pengelolaan rencana dalam industri perikanan. Hal ini berdampak besar pada berkurangnya populasi ikan, khususnya hiu, di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu pusat keragaman hiu di dunia, tetapi hiu-hiu tersebut ditangkap di seluruh wilayah di dalam negeri. Guna memiliki kontrol yang lebih baik lagi di daerah perikanan dalam negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui pemerintah pusat telah membagi pengelolaan secara spesifik melalui Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Saat ini terdapat 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di dalam negeri.
Selanjutnya, perencanaan pengelolaan hiu terbagi kembali berdasar setiap WPP. Regulasi perlindungan ini dibentuk untuk meningkatkan pengelolaan perikanan hiu secara keseluruhan. Akan tetapi, pembagian WPP malah menciptakan perbedaan dalam pengambilan kebijakan sehingga terjadi ketimpangan di beberapa wilayah.
Sebenarnya, regulasi Wilayah Pengelolaan Perikanan seperti ini dapat berjalan dengan baik di beberapa negara lain. Namun, regulasi ini tidak dapat dijalankan di negara seperti Indonesia. Hal ini karena wilayah Indonesia terlalu luas dan masing-masing wilayah memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam proses pengambilan keputusan. Untuk itu, perencanaan pengelolaan yang spesifik memerlukan perancangan pada setiap area serta setiap jenis perikanannya.
Studi terbaru menunjukkan bahwa mayoritas dari hiu di Indonesia, secara spesifik Hiu Thresher, sering ditangkap sebagai hasil sampingan oleh kapal penangkap tuna di WPP 572 dan 573. Padahal, WPP tersebut berada dalam pengawasan Indian Ocean Tuna Commission ( IOTC ). IOTC telah mengimplementasikan regulasi terbaru untuk kapal penangkap tuna (longline, gillnet, pukat cincin, dan lain-lain) ditujukan untuk meningkatkan usaha konservasi hiu Thresher yang tertangkap pada area IOTC. Selain itu, dalam regulasi ini juga mencakup kewajiban untuk melakukan pencatatan atau logbook pada hasil tangkapan, tidak ada transhipping, penjualan separuh atau seluruh tubuh Hiu Thresher, wajib untuk melepaskan Hiu Thresher yang masih hidup, dan menempatkan petugas pemantau di kapal. Akan tetapi, sebagian aturan di dalam regulasi tersebut tidak berjalan efektif. Hal ini disebabkan oleh lemahnya proses penerapan di lapangan.
Seringkali, logbook dari hasil tangkapan tidak diisi dan atau diisi secara tidak akurat sehingga data yang dikirimkan memiliki akurasi yang rendah oleh kapal-kapal. Selain itu, sering terjadi kesalahan pelaporan oleh pegawai pemantauan karena mereka belum dapat membedakan antar spesies hiu yang ditangkap. Permasalahan lain adalah, mereka masih dapat menjual tanpa pantauan karena kurangnya jumlah pegawai yang memantau setiap kapal saat melakukan penangkapan.
Selanjutnya, konservasi hiu di Indonesia semakin sulit karena industri perikanan hiu di Indonesia tidak hanya terdiri dari pedagang ikan skala besar, tetapi juga banyaknya industri perikanan skala kecil dan perikanan untuk komunitas lokal. Meski Indonesia telah mengimplementasi regulasi untuk melindungi hiu tertentu pada level nasional, tetap saja dalam implementasinya membawa regulasi tersebut ke level lokal dengan skala lebih kecil sangatlah sulit.
Hiu ditangkap untuk berbagai macam alasan seperti untuk mencari keuntungan (perdagangan sirip hiu), sebagai makanan, kebiasaan atau adat, dan mata pencaharian. Perikanan hiu baik sebagai target maupun hasil tangkapan sampingan memainkan peranan penting pada status sosial ekonomi dari komunitas perikanan dalam negeri.
Dengan tekanan internasional dan peningkatan pertumbuhan global terhadap “perlindungan hiu”, pemerintah Indonesia perlu menyadari sulitnya antara konservasi hiu yang efektif dan peranan dari perikanan ini pada kelangsungan hidup masyarakat, terutama untuk skala kecil dan komunitas perikanan artisan yang memegang peranan penting di Indonesia.
Tekanan Internasional dan peningkatan kesadaran global akan perlindungan hiu seharusnya membuat pemerintah Indonesia segera bertindak. Pemerintah Indonesia seharusnya mulai mempertimbangkan arah konservasi hiu yang efektif dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama nelayan skala kecil serta komunitas perikanan yang memegang peranan penting di negeri ini.
Manfaat ekonomi perikanan hiu bagi komunitas yang tergolong rentan ini perlu menjadi pertimbangan saat pengambilan keputusan, terutama dalam pengelolaan hiu dan pembatasan tangkapan. Selain itu, diperlukan mata pencaharian lainnya sebagai alternatif lain untuk komunitas ini. Meski demikian, mata pencaharian alternatif ini tidak banyak dan sebanding untuk mendapatkan nilai finansial setara, tanpa harus mengganti adat kebiasaan dan pekerjaan dari para nelayan itu sendiri.
Ditulis oleh : Etoile Smulders (Sumber bahasa Inggris)
Disadur oleh : Deborah Estefanus