Penangkapan hiu Thresher oleh komunitas lokal di provinsi Alor telah terjadi selama lebih dari 50 tahun. Walaupun demikian penangkapan hiu Thresher bukanlah merupakan tradisi dari masyarakat Lewalu dan Ampera di Alor. Mereka hanya menangkap hiu Thresher saat mereka tidak bisa menangkap ikan lain. Bagi mereka, hiu Thresher memiliki nilai yang sama seperti ikan yang mereka tangkap pada umumnya seperti tuna dan kakap. Hiu Thresher tidak ditargetkan untuk diambil siripnya oleh nelayan, melainkan lebih untuk diambil dagingnya sebagai sumber makanan dan pendapatan masyarakat. Meskipun hiu tidak ditargetkan karena siripnya yang berharga, sirip mereka tetap diambil dan dikirimkan untuk diperdagangkan di wilayah Indonesia Timur.
Untuk menangkap hiu Thresher saat musim dimana mereka kehabisan ikan, para nelayan akan memodifikasi tali pancing atau teknik mereka dan menggunakan kombinasi dari wol, sutra dan daun pandan untuk menarik perhatian hiu. Tali pancing tersebut dapat mencapai kedalaman 250 m dan ditambatkan pada batu yang besar dan daun kelapa kering sebagai pemberat. Sekitar 5-6 kail pancing disematkan pada tali bersama dengan bulu ayam dan tali warna-warni untuk menarik perhatian hiu.
Hiu Thresher menggunakan teknik berburunya uang unik dengan menghempaskan ekornya untuk melumpuhkan mangsa, namun karena itu ekor mereka akan terjerat di tali pancing kebanyakan hiu Thresher tertangkap pada pukul 4-8 pagi. Jumlah tangkapan terbanyak pada bulan Maret-April, sekitar 4-5 ekor hiu dapat didaratkan setiap harinya.
Pada saat hiu telah berhasil dibawa ke pesisir oleh nelayan, hiu akan diproses dan dijual oleh para istri nelayan ke pasar lokal di Kalabahi untuk konsumsi lokal dan sebagai sumber protein. Sirip hiu dijual di Larantuka dan kemudian dikirim ke Makassar atau Surabaya untuk keperluan ekspor.