Membentuk Kawasan Konservasi Perairan (KKP) merupakan sebuah cara yang luar biasa untuk upaya konservasi kehidupan laut dan habitatnya. Namun, banyak KKP yang tujuannya tidak matang dan efektif. Hal ini karena, adanya ketidaksetujuan dari komunitas lokal dan para pemangku kepentingan yang ada di dalamnya.
Keterikatan pemangku kepentingan dalam seluruh proses pembangunan dari kawasan konservasi perairan (KKP) atau kebijakan perlindungan yang baru, sangatlah penting untuk keberhasilan implementasi. Pemangku kepentingan dapat melibatkan komunitas lokal, pemerintah lokal, organisasi lainnya yang bekerja di area itu, dan para pengguna sumber daya, dan lain sebagainya.
Masing-masing kelompok orang yang memiliki peran aktif di area tersebut, memerlukan perlindungan dan berperan serta dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini supaya, kehidupan mereka tidak terdampak secara negatif atau sepihak oleh kebijakan yang akan diterapkan. Selanjutnya tujuan lain adalah, untuk membuat suatu kebijakan yang tetap perseptif terhadap kebutuhan, kepentingan, dan kepedulian terhadap penduduk terdampak keputusan tersebut.
Bukan rahasia lagi jika pergantian pemerintah berarti sumber daya laut dan pengelolaannya akan terdampak. Dengan kata lain, pergantian pemerintah menghilangkan hak penggunaan sumber daya, aksesibilitas bagi nelayan tradisional, dan masyarakat lokal lainnya yang bergantung pada sumber daya laut tersebut. Pergantian seperti ini dapat mengakibatkan permasalahan yang mengarah pada perlawanan dari komunitas lokal terhadap implementasi KKP. Permasalahan tersebut terjadi karena mereka melihat kerugian berada di sisi mereka, bukannya mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang baru. Hal ini mengakibatkan hambatan terhadap keberhasilan implementasi. Dengan demikian, perlu adanya kesepakatan komunal dan dukungan terhadap rencana pembangunan, sehingga semua komunitas yang terlibat dapat merasakan manfaatnya.
Dengan melibatkan pemangku kepentingan dalam pembangunan Kawasan Konservasi Perairan dapat menciptakan beberapa keuntungan, seperti:
– Aliansi yang lebih baik dan kepercayaan di antara komunitas daerah tersebut, sehingga dapat memudahkan implementasi di masa depan.
– Pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana orang-orang menggunakan sumber daya dan bagaimana mereka dapat terimbas oleh kebijakan baru untuk perlindungan yang lebih baik. Informasi ini sangat penting, jika dibarengi dengan perencanaan jangka panjang yang berkelanjutan.
– Berbagi manajemen pengelolaan dan tanggung jawab.
– Menambah jumlah sukarelawan dengan melibatkan komunitas yang pada akhirnya akan mengurangi tenaga pelaksanaan.
Raja Ampat merupakan contoh KKP yang paling berhasil di Indonesia. Sejak awal, keterikatan dengan pemangku kepentingan merupakan inti dari pembangunan KKP ini. Hal ini kemudian, memainkan peranan penting terhadap keberhasilan dari taman laut ini. Sebagai ekosistem laut yang paling beragam di muka bumi, rumah bagi banyak spesies yang terancam punah, dan sebagai koridor migrasi yang penting, Raja Ampat merupakan prioritas dari konservasi global.
Di daerah tersebut, terdapat banyak komunitas lokal yang bergantung pada sumber daya alam sebagai bahan makanan dan penghasilan. Area perencanaan yang ditetapkan sesuai dengan tujuan konservasi dari regional tersebut dan menghindari area pemancingan lokal. Untuk mencapai rencana ini, diperlukan adanya kesepakatan dengan banyak pemangku kepentingan. Aktivitas-aktivitas yang perlu disepakati ini melingkupi:
– Pemetaan komunitas: komunitas lokal membagi area personal yang dianggap penting, terutama mengenai area pemancingan.
– Pemetaan ahli: dalam kolaborasi dengan pemerintah lokal, regional, dan perwakilannya, lokasi dengan kawasan konservasi yang tinggi dapat diidentifikasi.
– Komunitas lokal, pemerintah lokal dan organisasi pihak ketiga yang terlibat di dalam desain area perencanaan dan dapat menawarkan masukan.
Proses keterlibatan antarpemangku kepentingan telah membawa kepada meningkatnya pemenuhan terhadap implementasi KKP. Selain itu, keterlibatan tersebut juga menghasilkan pengelolaan region yang efektif. Dengan kata lain, menguntungkan baik pihak komunitas lokal maupun keragaman hayati.
“Thresher Shark Indonesia telah melakukan sebuah pertemuan dengan para pemangku kepentingan untuk memahami minat dari pemangku kepentingan yang bekerja di daerah Alor. Pertemuan yang dilakukan tersebut dihadiri oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Departemen Kelautan dan Perikanan), Pemerintah Daerah Alor (Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan, dan Departemen Pariwisata), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Alor, Kepala Desa, Organisasi Non Pemerintah (World Wildlife Fund untuk Alam Indonesia), Kelompok Komunitas Nelayan dan sektor swasta (pusat menyelam, dive resort, dan operator pariwisata). Dari pertemuan ini kami menemukan apa yang menjadi minat dari setiap pemangku kepentingan dan solusi alternatif untuk melindungi hiu thresher di daerah Alor, sambil menggabungkan minat dari para pemangku kepentingan. Solusi alternatif diberikan kepada pemerintah untuk membantu mereka dalam merancang suatu kebijakan terhadap perlindungan hiu thresher di daerah Alor.”