Pada 25 September 2020 – 10 Oktober 2020, tim Thresher Shark Indonesia kembali melakukan penelitian lanjutan terkait habitat Hiu Tikus. Pada penelitian kali ini, Thresher Shark Indonesia berhasil menjadi pelopor penelitian habitat Hiu Tikus di Alor. Penelitian tersebut memasangkan penanda satelit MiniPAT, penanda akustik internal, dan sistem jaringan penerima (receiver) yang akan membantu untuk memantau pergerakan dan pola migrasi Hiu Tikus di kawasan Perairan Alor dan laut sekitarnya. Penelitian menggunakan metode akustik internal ini menjadi yang pertama di dunia untuk spesies Hiu Tikus (Alopias pelagicus) dan yang pertama di Indonesia untuk penanda satelit MiniPAT.
Tag satelit yang dipasang pada tubuh Hiu Tikus diprogram untuk dapat berada di tubuh hiu selama 6 bulan, dan akan lepas dengan sendirinya ke permukaan. Tag yang sudah lepas, kemudian akan memberikan sinyal ke satelit dengan rangkuman data kedalaman dan lokasi perpindahan hiu. Kegiatan pemasangan tag ini didukung oleh Ocean Blue Tree, melalui ekspedisi kapal Liveaboard Samambaia, dan merupakan kerja sama antara Thresher Shark Indonesia, Conservation International (CI) Indonesia, Thrive Conservation Indonesia, dan Underwater Tribe.
Hiu Tikus atau Alopias spp merupakan spesies ikan pelagis yang hidup di laut dalam. Penelitian terkait habitat dan kebiasaan hewan ini pun masih sangat jarang ditemukan, lantaran kebiasaan hewan ini.
Alopias pelagicus atau Hiu Tikus memiliki panjang tubuh mencapai lebih dari tiga meter dan ekor yang berbentuk seperti cambuk. Selain itu, Hiu Tikus memiliki keunikan dalam cara berburu mangsa. Ia akan menggunakan ekornya untuk mencambuk mangsa hingga pingsan atau mati. Kecepatan cambukan Hiu Tikus setara dengan 60 miles/hour, dan kekuatannya bisa membelah molekul air dan oksigen.
Berdasar hasil penelitian Thresher Shark Indonesia pada tahun 2018 menyebutkan, Hiu Tikus akan bermigrasi dari Laut Alor hingga Laut Sawu, kemudian kembali lagi ke Alor. Kemudian, Hiu Tikus yang tertangkap di perairan Alor didominasi oleh betina dan mayoritas dalam keadaan hamil dan siap untuk melahirkan. Namun, Hiu Tikus memiliki waktu reproduksi yang cukup lambat dengan tiga hingga lima anakan dalam satu waktu.
Di dunia, Hiu Tikus kerap ditemukan berada di laut dangkal perairan Malapascua, Filipina. Sedangkan di perairan Indonesia sendiri, Hiu Tikus kerap muncul di perairan Aceh, Bali, hingga ke Nusa Tenggara Timur. Namun, seringkali dalam keadaan sudah mati dan siap untuk dijual belikan.
Upaya perlindungan Hiu Tikus (Alopias pelagicus) telah dimulai sejak 2009 melalui Resolusi 10/12 IOTC Tahun 2009 tentang perlindungan Hiu Tikus. Selanjutnya pada tahun 2016, Hiu Tikus disepakati masuk ke dalam daftar Appendix II the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) pada Conference of the Parties CITES ke-17 di Afrika Selatan. Daftar Appendix II ini berisi daftar satwa yang mungkin terancam punah jika perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Sayangnya, hanya dalam waktu tiga tahun sejak masuk daftar Cites Appendix II, pada tahun 2019, Hiu Tikus masuk ke dalam status konservasi terancam punah (Endangered) menurut The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List of Threatened Species. Sedangkan di Indonesia sendiri, Hiu Tikus sudah diatur ke dalam Pasal 73 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26 tahun 2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP NRI wajib dilepas dan dilaporkan jika mati, demikian juga pada Bab X Pasal 39 Permen KP No. 12 tahun 2012 tentang usaha perikanan tangkap di laut lepas. Namun, sangat disayangkan Hiu Tikus (Alopias pelagicus) masih kerap menjadi tangkapan sampingan oleh nelayan tuna di Indonesia.
Hingga kini, upaya penelitian dan perlindungan terkait Hiu Tikus di dunia dan Indonesia masih sangat minim. Untuk itu, Thresher Shark Indonesia berupaya memberikan dukungan melalui penelitian Hiu Tikus dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Harapannya kegiatan penelitian dari Thresher Shark Indonesia dapat mendorong upaya konservasi Hiu Tikus berbasis masyarakat di Indonesia, khususnya dalam Suaka Alam Perairan Selat Pantar, Alor, Nusa Tenggara Timur.