Lautan Banda adalah salah satu ekosistem laut yang paling kaya dan bervariasi yang berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Di dalam perairan Banda yang dalam, terdapat banyak spesies laut yang unik dan langka, salah satunya adalah hiu tikus (thresher shark).
Pada tahun 2019, International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List, sebuah badan yang berperan dalam klasifikasi konservasi hewan dan tumbuhan, telah mengelompokan hiu tikus sebagai spesies yang terancam punah (endangered). Namun, pada umumnya masyarakat kepulauan Banda belum mengetahui bahwa hiu tikus terancam punah dan memerlukan perlindungan.
Kepulauan Banda sendiri terdiri dari beberapa pulau, yaitu Pulau Run, Ai, Hatta, Naira, dan Banda Besar. Pada tahun 2021, Pulau Run dan Pulau Ai telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perikanan (KKP). Namun, tidak satu pun dari tiga spesies hiu tikus yang masuk dalam daftar target konservasi dalam pengelolaan KKP.
Thresher Shark Indonesia (TSI) telah melakukan pendataan penangkapan dan pendekatan kepada masyarakat di kepulauan Banda. Sejak Januari 2023, tercatat 57 laporan penangkapan hiu tikus di 16 lokasi perairan Banda, termasuk indikasi adanya hiu muda dan hiu yang hamil.
Pendataan dilakukan dengan sosialisasi secara individu kepada seluruh nelayan di Pulau Run. Nelayan yang mengetahui tangkapan hiu tikus akan melapor kepada enumerator TSI melalui chat WhatsApp dengan mengirimkan tanggal, lokasi penangkapan ikan, dan foto.
Masyarakat Kepulauan Banda memiliki sejarah penangkapan ikan hiu yang lazim. Praktik tersebut menyangkut penangkapan hiu dan membuang tubuhnya setelah diambil bagian-bagiannya yang berharga seperti daging dan siripnya.
Selain melakukan pendataan, TSI juga melakukan pendekatan dengan kelompok nelayan di Kepulauan Banda. Dari pengakuan nelayan, hiu tikus bukan lagi menjadi target utama mereka. Hiu tikus sebagian besar tertangkap secara tidak sengaja atau yang disebut tangkapan sampingan saat menggunakan jaring (purse seine).
Salah satu alasan utama tidak menargetkan hiu tikus adalah karena rendahnya harga jual yang hanya mencapai Rp.10.000/kg dan rendahnya permintaan pasar bahkan untuk siripnya.
“Nelayan mengatakan hiu tikus nilainya tidak sebanding dengan harganya dan upaya untuk menangkapnya, hiu tikus yang tertangkap juga berdampak negatif karena menyebabkan peningkatan biaya karena rusaknya jaring,” ujar enumerator TSI, Samsul Basrun.
Namun, para nelayan mengapresiasi aroma daging hiu tikus yang tidak memiliki aroma amis yang kuat yang biasa ditemukan di daging hiu lainnya. Dengan begitu daging hiu bisa dijemur sebelum dikonsumsi. Mereka juga menyebutkan banyaknya resep lokal yang menggunakan daging hiu tikus sebagai bahan utamanya. Pengakuan tersebut memungkinkan bahwa pemanfaatan hiu tikus oleh masyarakat untuk kebutuhan konsumsi pribadi.
Meskipun tidak menjadi target konservasi di wilayah KKP Pulau Run dan Pulau Ai, aturan mengenai hiu tikus sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no.61 tahun 2018 dan CITES Appendix II yang melarang perdagangan dan ekspor hiu tikus.
Para nelayan mengakui bahwa sudah ada peraturan yang melarang penangkapan hiu tikus, namun mereka juga menyatakan kekhawatirannya mengenai tangkapan hiu tikus melalui jaring yang tidak disengaja.
Pada umumnya nelayan menunjukkan kesediaan untuk mematuhi peraturan tersebut, namun mereka berpendapat bahwa secara praktis tidak mungkin mengetahui apa yang terperangkap di bawah air. Kelompok nelayan menyadari perlunya pendekatan dan teknologi inovatif untuk mencegah hiu tikus tertangkap.
Para nelayan mengakui manfaat memiliki kawasan konservasi karena memberikan ruang bagi ikan untuk berkembang biak dan berkembang. Mereka juga menyadari bahwa metode penangkapan ikan yang merusak terumbu karang merupakan hal yang merugikan, terutama di kawasan yang berpusat pada pariwisata.
Thresher Shark Indonesia berharap dengan kegiatan pendataan dan pendekatan kepada nelayan, hiu tikus dapat menjadi target konservasi KKP sehingga bisa mengintervensi pelepasan hiu tikus yang tertangkap dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya ekosistem laut.
Baca juga: Pengenalan Hiu Tikus yang Terancam Punah di Kepulauan Banda
Penulis: Rafid Shidqi/Umar Tusin/Vivekananda