Lecutan Cambuk di Dalam Samudera

“Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu.
Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu.”

Wallacea.org – Penggalan lirik lagu dari band legendaris Tanah Air yang digawangi oleh “Koes bersaudara” tidak akan lekang oleh zaman untuk menggambarkan laut Indonesia. Bagaimana tidak? Birunya laut yang membentang luas bagaikan lantai dari batu safir ini menyimpan harta yang tak ternilai di dalamnya.

Siang itu, matahari bercokol dengan gagah dan memancarkan sinarnya sampai ujung cakrawala. Angin yang berhembus lembut seakan tak mau kalah untuk menarik perhatian orang-orang di pesisir pantai Alor. Hembusan angin itu turut membuat ombak menari-nari dengan indah seakaan mengajak siapa saja yang melihatnya untuk ikut berjoget bersamanya.

Semua keindahan itu tidak berhenti di permukaan laut. Kedua bola mata ini tidak akan berkedip untuk sesaat ketika menyaksikan asrinya kehidupan di bawah laut Alor. Ikan-ikan berenang seakan berlomba untuk mencapai garis finis yang tak tahu di mana keberadaannya. Cahaya matahari yang bersinar terik menyinari biota laut lain yang bersembunyi bagaikan tersipu malu oleh tamu yang mengunjunginya. Dari berbagai hewan yang hidup di perairan tersebut, terdapat makhluk panjang yang berenang dengan sangat memesona; hiu tikus.

Co-founder & Program Coordinator Thresher Shark Indonesia (TSI) Dewi Ratna Sari menuturkan, hewan yang memiliki ekor lebih panjang dari tubuhnya ini terbagi dalam tiga jenis. Common Thresher Shark atau Alopias vulpinus merupakan jenis hiu tikus dengan ukuran, 5,7 meter. Lalu ada hiu tikus mata besar atau Alopias superciliosus dan Alopias pelagicus atau yang dikenal dengan nama hiu tikus pelagis, memiliki ukuran sekitar 3,3 meter. Di Kabupaten Alor sendiri terdapat dua jenis yang berenang bebas di perairan tersebut, yakni hiu tikus mata besar dan hiu tikus pelagis.

Ia menceritakan, hiu tikus yang ada di Alor tinggal di perairan yang cukup dangkal; yaitu sekitar enam sampai 20 meter saja. Tidak seperti di film Jaws dan The Meg yang menggambarkan bahwa hiu merupakan hewan ganas dan memiliki rahang kuat untuk mencabik mangsanya. Hewan ini memiliki keunikan dalam berburu, karena menggunakan ekornya yang panjang sebagai cambuk untuk berburu mangsa.

Namun, keberadaan hewan ini semakin mengkhawatirkan karena banyak diburu oleh nelayan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Konservasi Dunia atau International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), hiu tikus pelagis berstatus Genting (Endangered). Sementara itu, di Kabupaten Alor, hiu tikus menjadi salah satu target utama penangkapan ikan oleh nelayan Desa Lewalu dan Ampera.

Rafid Shidqi, co-founder dan Project Leader Thresher Shark Indonesia sedang mengukur badan hiu tikus

Dewi menyebutkan, hal inilah yang mendorong Thresher Shark Indonesia untuk melakukan pendampingan kepada nelayan setempat untuk tidak lagi menangkap hiu tikus dan beralih menjadi nelayan ikan tuna sirip kuning. Menurutnya, nelayan terus menangkap hiu tikus karena sudah menjadi kebiasaan turun-temurun yang telah dilakukan oleh generasi pendahulu. Selain itu, para nelayan setempat juga tidak mengetahui jika hiu tikus berstatus terancam punah.

“Nelayan di sana tidak tahu kalau thresher shark adalah salah satu hewan yang cukup karismatik. Setelah kami datang, baru masyarakat di sana tahu bahwa hiu tikus terancam punah dan muncul rasa ingin tahu mengapa harus dilindungi,” tuturnya.

Meski begitu, proses untuk memberi pemahaman kepada masyarakat yang berprofesi sebagai penangkap hiu tidaklah mudah. Para nelayan mempertanyakan jika tidak lagi menangkap hiu, mereka harus menangkap apa lagi? Mereka juga berkeluh-kesah tentang kehidupan sebagai nelayan kecil dengan kemampuan yang terbatas.  Sementara, jika hendak mencari ikan tuna membutuhkan keahlian khusus. Maka dari itu mereka tidak punya pilihan lain untuk terus berburu hiu tikus.

Meski begitu, kesadaran masyarakat untuk melestarikan hiu tikus semakin besar. Hal ini terjadi setelah para nelayan mengerti bahwa keberadaan ikan yang juga sering disebut hiu monyet tersebut semakin berkurang. Selain itu, hiu tikus juga dapat berpotensi untuk meningkatkan ekonomi melalui sektor pariwisata. Meski termasuk dalam golongan pemangsa, hewan ini sangat ramah kepada manusia. Maka dari itu, banyak penyelam ingin bertualang di bawah air bersama ikan bercambuk tersebut.

Setelah melakukan serangkaian proses diskusi, masyarakat akhirnya tergugah dengan sendirinya untuk berhenti menangkap hiu tikus dan beralih ke tuna. Melaui Program Kemitraan Wallacea fase dua yang didukung oleh Dana Kemitraan Ekosistem Kritis (CEPF) pada April 2021, TSI mendampingi nelayan di Desa Luwalu dan Desa Ampera di Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, untuk menjadi penangkap tuna sirip kuning. Nelayan yang beralih menjadi penangkap ikan tersebut diberikan pelatihan dan pendampingan secara intensif untuk belajar menangkap tuna di lokasi lebih jauh jika dibandingkan tempat hiu tikus berada. Hal ini yang menjadi tantangan tersendiri bagi para nelayan dalam menangkap tuna. Jika sebelumnya nelayan dengan mudah untuk menangkap hiu tikus, namun saat ini membutuhkan usaha yang lebih ekstra. Meski begitu, para nelayan tak patah arang untuk menjaga keberadaan hiu tikus.

Sejumlah nelayan Desa Lewalu dan Desa Ampera melakukan deklarasi untuk berhenti menangkap hiu tikus.

Sejatinya, masyarakat yang tinggal di pesisir memiliki keterikatan dengan laut. Di Alor terdapat legenda yang bercerita tentang prosesi pernikahan antara suku yang berasal dari laut dengan suku yang berasal dari pegunungan. Menurut masyarakat setempat, hasil yang diberikan laut adalah berkah yang harus terus dijaga. Hal ini menjadi selaras dengan komitmen masyarakat untuk terus menjaga keberadaan hiu tikus.

Dewi menuturkan, saat prosesi deklarasi nelayan untuk berhenti menangkap hiu tikus dilakukan di tempat sakral bagi masyarakat setempat, yaitu rumah adat. Menurutnya, beberapa hari sebelum prosesi tersebut dilaksanakan, cuaca sangat tidak bersahabat. Hujan turun disertai dengan hembusan angin kencang, kilatan petir dan guntur silih berganti muncul. Namun, semua ini berbeda saat hari pelaksanaan deklarasi. Cuaca menjadi cerah dan matahari bersinar dengan hangat. Hal ini dimaknai oleh masyarakat setempat sebagai persetujuan leluhur atas tindakan yang dilakukan.

“Sebagian dari nelayan bilang, berarti ini (nenek moyang) menyetujui kalau kita berhenti menangkap hiu tikus,” ujarnya.

Selain memberikan pendampingan kepada para nelayan, TSI juga turut memberikan pemahaman kepada generasi muda. Menurut Dewi, pelestarian hiu tikus harus tetap berjalan dan dikomandoi oleh generasi muda setempat agar keberadaannya terus lestari. Selain itu, generasi muda setempat juga mulai berpikir untuk memanfaatkan keberadaan hiu tikus sebagai faktor pendukung pariwisata laut tanpa harus mengorbankan lingkungan.

Hamparan biru laut yang membentang luas menjadi tempat bagi manusia menggantungkan hidupnya. Meski begitu, manusia juga harus menjadi penjaga kelestarian laut agar ikan dan udang dapat berenang bebas dan menghampiri dirimu sampai kapan pun.

Artikel Wallacea ini dapat diakses pada tautan ini