Mendengar kata hiu, kita tentu akan teringat pada film Jaws atau The Meg yang menceritakan tentang hiu megalodon, spesies hiu purba yang sudah punah sekitar 2,5 juta tahun lalu.
Kedua film tersebut, menggambarkan bagaimana hiu pada umumnya, memanfaatkan rahangnya yang kuat serta gigi-gigi tajamnya dalam strategi berburu mangsanya.
Namun, sebuah teknik berburu berbeda ditunjukkan spesies hiu tikus [Alopias spp] atau Thresher Sharks yang menggunakan ekor panjangnya untuk mencambuk mangsa hingga pingsan bahkan mati.
“Ekor panjangnya merupakan fitur unik yang membedakan hiu tikus dengan jenis hiu lain. Panjangnya bisa mencapai setengah tubuhnya, digunakan sebagai strategi bertahan hidup serta fitur evolusi yang berlangsung lama,” kata Rafid Shidqi, Co-Founder Thresher Shark Indonesia, dalam Bincang Alam Mongabay Indonesia, Jumat [09/4/2021], bertajuk Penggunaan Penanda Satelit dan Akustik Untuk Konservasi Hiu Tikus.
Hiu tikus ada tiga jenis. Pelagic Thresher Shark atau hiu tikus [Alopias pelagicus] yang merupakan jenis terkecil [3,3 meter], hiu mata besar [Alopias superciliosus] atau Big-Eye Thresher Shark dengan benjolan di kepala, serta Common Thresher Shark [Alopias vulpinus] yang merupakan jenis hiu tikus dengan ukuran terbesar [5,7 meter].
Dari segi sebaran populasi, sama halnya dengan pari manta, hiu tikus merupakan spesies circumglobal, yang artinya dapat ditemui hampir di seluruh perairan dunia. Untuk jenis Common Thresher Shark biasa ditemukan di perairan sub-tropis dan Atlantik, sedangkan Big-Eye Thresher Shark dan Pelagic Thresher Shark di perairan Indo-Pasifik.
“Khusus perairan Indonesia, baru ditemukan jenis Big-Eye Thresher Shark dan Pelagic Thresher Shark, mulai Sumatera [Aceh], Jawa [Pelabuhan Ratu, Cilacap, dan Banyuwangi] Bali, Lombok, hingga Nusa Tenggra Timur [Laut Sawu hingga Laut Alor],” lanjut Rafid.
Baca selengkapnya pada artikel asli di sini