“Kakak kami su siap, tapi ibu guru bilang oto (mobil) belum datang,” ujar salah satu murid yang menjawab pertayaan saya.
Pagi itu, saya bertanya kepada anak-anak kelas lima Sekolah Dasar (SD) Santa Maria mengenai kesiapan mereka mengikuti kegiatan kunjungan lapangan (field trip) ke kawasan mangrove di pesisir Desa Fanating.
Dengan 24 siswa murid, wali kelas lima, Maria Lilis Maro menyuruh muridnya menunggu dengan tertib di dalam kelas. Namun apadaya, saat dia kembali ke ruang guru, mereka kembali bermain keluar, bahkan sebagian berlari menuju musik Ikan Nae di Pante yang diputar kelas sebelah saat sedang melakukan senam sehat.
Sekitar jam 08.30 mobil pick up akhirnya datang dan mulai parkir di tengah lapang yang sedikit berlumpur. Dengan sedikit sesak, ibu guru mengatur 25 anak muridnya untuk duduk di atas mobil pick up.
Setelah memastikan semua muridnya aman, tiga orang ibu guru ikut duduk bersama siswa dan sebagian duduk di samping supir, sedangkan saya menaiki motor menunjukan arah lokasi tujuan. Perjalanan dari SD ke pesisir Fanating memakan waktu sekitar 45 menit, maklum karena beberapa ruas jalan menuju lokasi belum beraspal dan jalan yang sedikit licin akibat hujan semalam.
Rasa antusias terlihat dari para siswa saat meihat pesisir dari kejauhan. Mimik ceria terpancar seakan sudah tidak sabar untuk bermain di pinggir pantai. Namun, saya tetap mengingatkan kegiatan field trip ini bukan hanya sekedar bermain di pantai, tetapi juga mengamati bagaimana pohon mangrove hidup berkembang dan menjaga wilayah pesisir.
Sesampainya di pinggir pantai, para siswa langsung disambut oleh tim Thresher Shark Indonesia. Kegiatan field trip ini merupakan kerjasama antara Thresher Shark Indonesia dengan SD Santa Maria dan merupakan kegiatan lanjutan dari sosialisasi mangrove yang sebelumnya sudah dilakukan.
Pada awal kegiatan, para siswa langsung dipandu oleh Mangrove Project Lead, Florinda Gerimu. Florinda mulai memperkenalkan beberapa jenis mangrove yang sudah disemaikan di pesisir Desa Fanating.
“Ini adalah beberapa jenis mangrove yang sudah kami semaikan, ada jenis Ceriops, Bruguera, dan Rhizophora, ini umurnya sekitar tiga bulan” ujar Florinda menjelaskan sambil menunjukan ketiga jenis mangrove.
Florinda menjelaskan bahwa proses penyemaian harus menggunakan substrat (campuran tanah dan pasir pantai) yang sesuai dengan jenis bibit mangrove. Dari ketiga jenis mangrove, Rhizophora dan Ceriops adalah jenis yang paling cocok dengan kondisi substrat pesisir Fanating. Sedangkan jenis Bruguera lebih sering mati saat proses penyemaian.
Setelah mengenali ciri-ciri dan perbedaan ketiga jenis mangrove, para siswa di arahkan untuk membersihkan sampah dan parasit yang menempel di pohon mangrove. Hal ini dilakukan karena sampah plastik yang menempel dapat mengganggu pertumbuhan mangrove.
Sampah yang tersangkut adalah salah satu masalah restorasi ekosistem mangrove. Diperlukan kesadaran secara luas karena sampah yang datang ke pesisir Fanating berasal dari daerah lain yang terbawa arus laut.
Mangrove Restoration Officer, Lekison Padafani menjelaskan selain menjadi benteng alami untuk mencegah abrasi, mangrove juga menjadi menjadi rumah beberapa spesies burung dan meting (kerang) yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.
“Tapi saat kita gali cari meting jangan sampai akar mangrove patah dan rusak,” ucap Lekison
Panas di leher mulai menyengat, tak terasa cuaca semakin terik. Ternyata benar, jam sudah menunjukan pukul 11 siang. Kami memutuskan untuk beranjak ke kegiatan selanjutnya, yaitu penanaman beberapa mangrove.
“Siapa yang mau coba tanam mangove?” ucap Mangrove Restoration Officer, Esau Kamarkani menanyakan kepada para siswa.
“Saya!,” semua lantang menjawab antusias. Terik matahari tidak menyulutkan semangat mereka. Namun, karena jumlah anakan yang terbatas, Esau harus menyeleksi beberapa siswa dengan beberapa pertanyaan seputar mangrove.
Ternyata tidak sulit bagi para siswa. Mereka bisa menjawab semua pertanyaan mulai dari manfaat mangrove, jenis-jenis mangrove, sampai umur anakan mangrove yang sudah bisa ditanam. Saya pun merasa lega karena melihat materi sosialisasi mangrove yang sebelumnya diberikan minggu lalu masih diingat oleh para siswa.
Lima orang siswa terpilih mewakili SD Santa Maria untuk menanam mangrove. Esau pun menjelaskan tahap demi tahap dalam proses penanaman mangrove. Tidak ada perbedaan besar dalam menanam mangrove, namun Esau menekankan bahwa kedalaman lubang galian harus setinggi substrat dan mampu menutupi seluruh substrat mangrove.
“Selain itu, bagian bawah poly bag juga harus disobek agar akar mangrove bisa tumbuh dengan baik. Jika tidak disobek bawahnya akar mangrove akan kesulitan tumbuh karena terhalang poly bag,” ujar Esau menjelaskan pentingnya menyobek.
Sebanyak lima orang siswa terpilih untuk menanam mangrove. Mereka bergantian menanam sekligus menjelaskan lagi kepada teman-temannya cara menanam mangrove.
“Lu bisa kuat sedikit ko? Badan besar tapi tenaga lemah,” ucap salah satu siswa yang meledek temannya yang sedang menggali lubang mangrove.
Protes tersebut hanya membuat membuat temannya tersenyum sambil mengucap “lu diam, besi gali (linggis) berat ni.”
Lima anakan mangrove akhirnya berhasil ditanam saat tengah hari. Waktu yang pas untuk mengakhiri kegiatan saat itu. Tim Thresher Shark Indonesia dan guru SD Santa Maria saling berterima kasih dalam penutupan acara. Tidak berselang lama mobil pick up kembali menjemput mereka untuk kembali ke sekolah.
“Kakak nanti kalo mau tanam lagi, ajak kami lagi ya!” ucap salah satu siswi sambil berpamitan.